Breaking News
- Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul, Habib Luthfi Puji Warisan Dakwah dan Sosial Sang Ulama Besar
- Belasan Anak Naik Sepeda Dari Batola ke Sekumpul
- Banjir Terjang Sejumlah Daerah di Kalsel usai Hujan Deras, Tagana Diterjunkan Bantu Evakuasi
- Status Bahaya! Sejumlah Bendung dan Sungai di Kalsel Alami Kenaikan TMA, Warga Diminta Waspada
- Cinta Segitiga Motif Polisi Bunuh Mahasiswi ULM
- Kasus Pembunuhan Mahasiswi ULM Terungkap: Bripda Muhammad Seili Jadi Tersangka, Berawal dari Motif Cinta Segitiga
- UMP Kalsel 2026 Naik 6,54 Persen, Resmi Jadi Rp3.725.000
- Gelar Doa Bersama di 17 Mei Banjarmasin, Wagub Hasnuryadi Harapkan Jadi Tempat Bersatunya Masyarakat Kalsel
- Wagub Kalsel Resmi Tutup Rehabilitasi Disabilitas, Peserta Dapat Bantuan Alat Usaha
- Noorhana, Cerita Mahasiswa Terbaik ULM Yang Sukses Banyak Organisasi
Mempersembahkan Semangat Literasi Banjarbaru di Panggung Sastra Internasional
Ali Arsi: Saya Tak Ingin Sekadar Datang Membaca Puisi

Keterangan Gambar : TAMPIL: Penyair Banjarbaru Ali Arsi saat membacakan puisinya dalam sebuah pertunjukan.
Banjarbaru – Penyair asal Banjarbaru, Ali Arsi, siap membawa semangat literasi Kalimantan Selatan ke kancah internasional melalui Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2025 yang digelar di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Bagi Ali, keikutsertaannya kali ini bukan sekadar perjalanan tampil di panggung, melainkan upaya memperkenalkan napas sastra Banua di tengah geliat dunia literasi Melayu yang semakin berkembang.
Ali menegaskan, kehadirannya di festival tersebut adalah bentuk tanggung jawab moral sebagai penyair daerah.
“Saya tidak ingin sekadar datang membaca puisi. Saya ingin menunjukkan bahwa di Kalsel juga ada penyair, ada semangat literasi, ada jiwa yang terus menulis. Ini bentuk kecil dari cinta saya terhadap Banjarbaru,” ujarnya dengan nada tenang.
Dalam kesempatan itu, Ali juga menyinggung pentingnya dukungan kebijakan yang lebih terbuka terhadap ruang-ruang kesenian dan sastra.
“Seni dan sastra bukan sekadar hiburan, tapi wadah refleksi dan pendidikan karakter masyarakat,” katanya.
Ia menilai, karya budaya memiliki daya tahan yang tak lekang oleh waktu.
“Kesenian dan sastra itu aset yang tak mudah punah. Kalau sumber daya alam bisa habis, tapi karya budaya akan terus hidup selama manusia masih berpikir dan merasa,” tuturnya lirih.
Meski telah lama menulis dan tampil di berbagai forum, Ali mengaku tak pernah kehilangan gairah terhadap dunia puisi. Baginya, setiap bait yang ditulis merupakan cermin perjalanan batin dan renungan hidup.
“Menulis puisi itu seperti berbicara dengan diri sendiri. Kadang tentang cinta, harapan, atau situasi sosial di sekitar kita. Puisi adalah cara saya menafsirkan kehidupan,” ujarnya.
Ali berharap kehadirannya di FSIGB 2025 dapat memberi inspirasi bagi penyair muda Kalimantan Selatan untuk lebih berani menembus panggung nasional maupun internasional.
“Saya tentu tidak bisa sendiri. Saya ingin ke depan lebih banyak kawan dari Kalsel ikut berpartisipasi. Panitia FSIGB selalu memantau karya dari berbagai wilayah, jadi peluang itu terbuka lebar,” katanya penuh harap.
Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2025 menjadi momentum penting bagi para penyair Nusantara untuk saling belajar dan berbagi makna. Dari Tanjungpinang—tanah Gurindam yang sarat sejarah sastra Melayu—gema puisi kembali bergaung ke seluruh penjuru negeri.
Dan kali ini, salah satu suaranya datang dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan.(smartbanua)
Bagi Ali, keikutsertaannya kali ini bukan sekadar perjalanan tampil di panggung, melainkan upaya memperkenalkan napas sastra Banua di tengah geliat dunia literasi Melayu yang semakin berkembang.
Ali menegaskan, kehadirannya di festival tersebut adalah bentuk tanggung jawab moral sebagai penyair daerah.
“Saya tidak ingin sekadar datang membaca puisi. Saya ingin menunjukkan bahwa di Kalsel juga ada penyair, ada semangat literasi, ada jiwa yang terus menulis. Ini bentuk kecil dari cinta saya terhadap Banjarbaru,” ujarnya dengan nada tenang.
Dalam kesempatan itu, Ali juga menyinggung pentingnya dukungan kebijakan yang lebih terbuka terhadap ruang-ruang kesenian dan sastra.
“Seni dan sastra bukan sekadar hiburan, tapi wadah refleksi dan pendidikan karakter masyarakat,” katanya.
Ia menilai, karya budaya memiliki daya tahan yang tak lekang oleh waktu.
“Kesenian dan sastra itu aset yang tak mudah punah. Kalau sumber daya alam bisa habis, tapi karya budaya akan terus hidup selama manusia masih berpikir dan merasa,” tuturnya lirih.
Meski telah lama menulis dan tampil di berbagai forum, Ali mengaku tak pernah kehilangan gairah terhadap dunia puisi. Baginya, setiap bait yang ditulis merupakan cermin perjalanan batin dan renungan hidup.
“Menulis puisi itu seperti berbicara dengan diri sendiri. Kadang tentang cinta, harapan, atau situasi sosial di sekitar kita. Puisi adalah cara saya menafsirkan kehidupan,” ujarnya.
Ali berharap kehadirannya di FSIGB 2025 dapat memberi inspirasi bagi penyair muda Kalimantan Selatan untuk lebih berani menembus panggung nasional maupun internasional.
“Saya tentu tidak bisa sendiri. Saya ingin ke depan lebih banyak kawan dari Kalsel ikut berpartisipasi. Panitia FSIGB selalu memantau karya dari berbagai wilayah, jadi peluang itu terbuka lebar,” katanya penuh harap.
Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2025 menjadi momentum penting bagi para penyair Nusantara untuk saling belajar dan berbagi makna. Dari Tanjungpinang—tanah Gurindam yang sarat sejarah sastra Melayu—gema puisi kembali bergaung ke seluruh penjuru negeri.
Dan kali ini, salah satu suaranya datang dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan.(smartbanua)
Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments
